“ Saya lebih memilih untuk membeli barang berlabel Made In Indonesia, "
Wiro Satriani
, Posted in
vision statement
,
0 Comments
Globalisasi memang membuat negara seperti Indonesia, Bangladesh, Equador dan yang lainnya sebagai tempat memproduksi produk garmen dan sepatu merek-merek terkenal untuk diekspor ke luar negeri. Upah buruh yang murah menjadi salah satu alasannya. Di sisi lain negara kita juga menjadi pasar besar untuk produk-produk serupa dari luar negeri sehingga produk industri kita bersaing keras dengan mereka. Semuanya atas nama globalisasi dan pasar bebas.
Tapi seringkali kita jumpai produk impor lebih murah dibandingkan produk lokal sehingga banyak di antara kita yang lebih memilih produk impor karenanya. Kenapa produk kita lebih mahal ? Beberapa orang pintar beralasan karena tingginya ongkos produksi yang melibatkan biaya siluman (baca: pungli) dan karena upah buruh yang lebih mahal dibandingkan upah buruh di negara-negara semacam Vietnam atau Cina. Baiklah kita terus paksa pemerintah untuk memerangi korupsi dan biayan siluman yang memberatkan dunia usaha. Tapi tentu saja tidak mungkin kalau kita harus mengurangi upah buruh. Karena itu inilah logika saya, seandainya saja saya membeli produk made in Indonesia, berarti secara tidak langsung saya sudah membantu sesama warga negara yang berprofesi sebagai buruh di industri yang memproduksinya.
Sayangnya di bidang usaha garmen ada gejala lain yang perlu diperhatikan. Sekarang semakin berkembang luas fenomena pakaian bekas yang bisa merusak logika saya di atas. Saya tidak tahu kenapa sejak masa reformasi teman-teman kita lebih memilih membeli pakaian bekas yang banyak dijual bebas di mana-mana. Pakaian bebas itu rata-rata memang masih layak pakai, seringkali berasal dari Singapura atau Malaysia, dan harganya memang murah dibandingkan pakaian baru. Kalau pakaian bekas yang dijual itu misalnya jas atau jaket, saya mungkin masih mau menerima, tapi saya amati pakaian bekas impor itu juga termasuk kemeja, rok dan malahan kaos.
Dengan kondisi seperti ini tentu saja produk lokal tidak akan bisa laku di rumah sendiri walaupun harga sudah diturunkan sedemikian rupa (yang otomatis menurunkan kualitas). Yang menjadi efek samping dari fenomena pakaian bekas ini tentu saja berkaitan dengan mental dan perasaan sebagai bangsa yang punya kebanggaan dan harga diri. Masak bangsa sebegini besar, rakyatnya hanya mampu mengenakan pakaian bekas pakai dari orang-orang di negeri tetangga.
Mungkin yang perlu kita tanyakan adalah kenapa pemerintah membiarkan fenomena ini terus berlangsung ?
Ilustrasi: kompas.com
0 Response to "“ Saya lebih memilih untuk membeli barang berlabel Made In Indonesia, ""
Posting Komentar